05
Jun
20

Jingga, Biru, dan Aku


cafe

Pada zaman dahulu kala … hm, sebenarnya tidak sejauh itu rentang waktunya. Maksudku, pada zaman dahulu terdapatlah tiga orang sahabat; Jingga, Biru, dan aku. Kisah ini akan kuceritakan kepada kalian sebagai pengingat bahwa kadang hidup terlalu absurd dan di luar jangkauan tangan.

Tentang Jingga, dia adalah pecinta senja. Katanya langit seperti perawan yang tengah tersipu malu-malu, pipinya semburat merah, senyumnya ranum merekah. Jingga mengganggap senja sebagai momen istimewa, ketika cakrawala seolah terbelah dan kuning keemasan muncul dalam periode tertentu sebelum akhirnya direngkuh malam.

“Senja adalah keikhlasan, membiarkan alam berjalan sesuai edarnya, membiarkan hari berputar dengan alami, menerima kehadiran bahagia seperti juga kita harus ikhlas ketika masa sulit berganti tiba,” ujarnya suatu hari.

Sedangkan warna biru adalah keceriaan yang diabadikan pada dataran langit. Seperti itu juga Biru, lincah, periang dan selalu mampu menghidupkan suasana dengan segala keceriaannya.

“Hidup ini cuma sekali, rugilah mereka yang tak mau berbahagia.” Biru mengucapkannya sambil tertawa-tawa.  Keceriaan Biru seperti cahaya yang dipantulkan kaca, berpendar, membumbung ke angkasa menularkan semangat pada orang-orang di sekitarnya.

Jingga dan Biru adalah sepasang sayap. Usia mereka sama. Mereka saling memahami. Mereka melengkapi. Mereka dekat, namun lebih lekat dibandingkan saudara. ‘Biyung’, adalah panggilan sayang Biru pada Jingga. Biyung dalam bahasa Jawa adalah Ibu, seperti Jingga yang selalu mengayomi Biru layaknya seorang ibu. ‘Genduk’, demikian Jingga memanggil Biru. Genduk berarti anak perempuan, seperti jiwanya yang kekanak-kanakan.

Aku bertemu jingga pada suatu hari, ketika kami menjadi satu tim dalam kelompok observasi. Jingga memergokiku sedang menggambar saat jam kerja, membuatku seperti anak-anak yang sedang tertangkap basah mencuri, “Ugh … maaf, soalnya bosen.” Jingga tertawa dan kami akhirnya malah berbicara tentang banyak hal. “Kamu seperti Biru, kecil, kadang centil, tapi … lebih aneh.”

“Kenapa begitu?” tanyaku penasaran.

Jingga tertawa, “Biru ceria, kamu juga tapi cenderung moody. Aku sering melihatmu melamun sendiri.” Kali ini giliran aku yang tertawa. Aku tidak melamun, aku hanya berkonsentrasi pada hal lain. Memangnya apakah melamun itu? Terkadang pikiran kita melayang-layang ke dunia entah, tapi ia tak kosong, ia berlarian sendiri dalam imajinasi. Menurutku imajinasi berbeda dengan lamunan. Imajinasi memiliki konotasi yang lebih baik. Entahlah.

Jingga juga yang akhirnya mempertemukanku dengan Biru. Ajaib. Tiga orang perempuan dengan kebiasaan identik akhirnya bertemu dalam satu meja. Hari itu kami menyadari bahwa kami mempunyai persamaan dalam banyak hal. Kami suka nembang, menulis, dan beberapa preferensi dalam memilih sesuatu hal, termasuk cinta.

Seiring dengan habisnya masa kontrak, aku memilih untuk terbang bebas kemana saja tanpa keinginan terikat pada lembaga tertentu. Biru juga begitu sibuk dengan karirnya, sementara Senja dengan bisnis entah apa. Rutinitas membuat kami tak lagi sering bertemu bahkan nyaris hilang sapa. Sampai suatu pagi sebuah pesan mampir di gawai kecilku.

 [18.30 ketemu di ‘Janji Hati’ ya, kita reuni.]

**

Langit kelabu. Gerimis telah turun sedari tadi membuat aspal jalanan menjadi basah. Aku mengusap jendela yang mulai berembun agar pemandangan di bawah lebih jelas. Mobil masih berlalu-lalang  sementara orang-orang berjalan di trotoar dengan tergesa-gesa. Desember, gede-gedene sumber, menurut pitutur Jawa, bulan ini adalah saat hujan turun sederas-derasnya.

Di luar, gerimis semakin membesar. Dingin. Aku merapatkan jaket sembari mengaduk-aduk cangkir capucino yang isinya sisa setengah.

“Mau nambah?” Senja memandangiku sambil tersenyum. Aku menggeleng.

“Biru udah sampai mana, Mbak?” tanyaku.

“Coba sms saja.” Senja mengerling lalu tertawa.

Baru saja hendak mengambil gawai tiba-tiba seseorang melambai-lambai dari pintu. Biru dengan cengiran khasnya berjalan cepat ke arah kami. “Hai hai hai ….” Biru memelukku, lalu menoleh kepada Senja untuk kemudian berteriak “Biyuuuung …,” sambil mencium pipinya kanan kiri.

 “Gengs, aku mau kenalin tunanganku sama kalian. Taraaaa ….” Biru melambaikan tangan, mengabaikan pandangan beberapa pelanggan café yang merasa terganggu dengan suara berisiknya.

Seorang lelaki jangkung menuju ke arah kami. “Bramantya?” ucapku dan Jingga bersamaan. Melihat kami, wajahnya berubah pasi, senyum di bibirnya langsung hilang ditelan bumi.

**

 Masih di tempat yang sama, satu minggu setelah kejadian itu berlalu. Kami duduk bertiga, mengitari satu meja untuk melakukan perayaan cinta.

“Untuk Bramantya.” Dengan mata berbinar-binar, Biru mengangkat cangkir ekspressonya.

Jingga tersenyum. “Untuk penghianat,” lanjutnya.

Tiga cangkir beradu. “Untuk lelaki yang kami cintai bersama, semoga tenang di peraduan terakhirmu.” Aku mempersembahkan doa sambil mengingat wajah tampan Bramantya yang pucat terbaring di lantai teras belakang rumahku sebelum adonan semen menutupi jasadnya yang kaku.

-bubyar-

Borneo, 5 Juni 2020

#NAD_30HariMenulis2020

#Hari_ke_5

#NomorAbsen_259

Jumlah Kata: 687

*) Tema: Menulislah dengan kalimat awal seperti ini: “Pada zaman dahulu kala…

*) Foto dicomot dari gugel


0 Responses to “Jingga, Biru, dan Aku”



  1. Leave a Comment

Leave a comment


About This Blog

Blog ini adalah catatan pribadi tentang remah-remah yang berserakan dalam hidup, tentang remeh temeh yang kerap muncul pada lalu lintas hari, tentang ide dan perasaan yang melintas dalam kepala. Dan tentu saja, tentang dunia dalam sudut pandang saya...

Day by Day

June 2020
T F S S M T W
 123
45678910
11121314151617
18192021222324
252627282930  

Blog Stats

  • 11,334 hits
Follow nanabrownies on Twitter

Circle Me